Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah (1/245), dari Khalid bin Ma’dan, dia berkata, “Umar bin al-Khathab mengangkat Sa’id bin Amir bin Huzaim sebagai amir kami di Himsh”.
Ketika Umar bertandang ke sana, dia bertanya, “Wahai penduduk Himsh, apa pendapat kalian tentang Sa’id bin Amir, amir kalian?”
Maka banyak orang yang mengadu kepada Umar. Mereka berkata, “Kami mengadukan empat perkara. Yang pertama karena dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang”.
Umar berkomentar, “Itu yang paling besar. Lalu apa lagi?”
Mereka menjawab, “Dia tidak mau menemui seseorang jika malam hari”.
“Itu urusan yang cukup besar”, kata Umar. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”
Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak keluar dari rumahnya untuk menemui kami”.
“Itu urusan yang cukup besar”, komentar Umar. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”
Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia”.
Kemudian Umar bin al-Khaththab mengkonfirmasi antara Sa’id bin Amir dan orang-orang yang mengadukan beberapa masalah tersebut. Saat itu Umar berkata pada dirinya sendiri, “Ya Allah, jangan sampai anggapanku tentang dirinya keliru pada hari ini”. Lalu dia bertanya kepada orang-orang yang mengadu, “Sekarang sampaikan apa yang kalian keluhkan tentang Sa’id bin Amir!”.
“Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang”, kata mereka.
Sa’id menanggapi, “Demi Allah! Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini kepada kalian. Harap diketahui, keluargaku tidak mempunyai pembantu, sehingga aku sendiri yang harus menggiling adonan roti. Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu’, baru kemudian aku keluar rumah untuk menemui kalian”.
Umar bertanya kepada mereka, “Apa keluhan kalian yang lain?”.
Mereka menjawab, “Dia tidak mau menemui seorangpun pada malam hari”.
“Lalu apa alibimu?”, tanya Umar kepada Sa’id bin Amir.
Sa’id menjawab, “Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Aku menjadikan siang hari bagi mereka, dan menjadikan malam hari bagi Allah”.
“Apa keluhan kalian yang lain?”, tanya Umar kepada mereka.
Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak mau ke luar rumahnya untuk menemui kami”
“Apa alibimu?”, tanya Umar kepada Sa’id.
Sa’id menjawab, “Aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku, disamping itu, aku pun tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain”. Maksudnya, hari itu dia mencuci pakaian satu-satunya.
“Apa keluhan kalian yang lain?”, tanya Umar kepada mereka.
Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia”.
“Apa alibimu?”, tanya Umar kepada Sa’id.
Sa’id menjawab, “Dulu aku menyaksikan terbunuhnya Hubaib al-Ansyari di Mekkah. Aku lihat bagaimana orang-orang Quraish mengiris-iris kulit dan daging Hubaib, lalu mereka membawa tubuhnya ke tiang gantungan. Orang-orang Quraish itu bertanya kepada Hubaib, ‘Sukakah engkau jika Muhammad menggantikan dirimu saat ini?’. Hubaib menjawab, ‘Demi Allah! Sekalipun aku berada di tengah keluarga dan anak-anakku, aku tidak ingin Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam terkena duri”. Kemudian dia berseru, ‘Hai Muhammad! Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi pada hari itu’. Sementara saat itu aku yang masih musyrik dan belum beriman kepada Allah Yang Maha Agung, tidak berusaha untuk menolongnya, sehingga aku beranggapan bahwa Allah sama sekali tidak mengampuni dosaku. Karena itulah barangkali keadaanku akhir-akhir ini seperti orang yang akan meninggal dunia”.
Umar bin Khaththab berkata, “Segala puji bagi Allah, karena firasatku tentang dirinya tidak meleset”. Setelah itu Umar memberi Sa’id uang sebesar seribu dinar, seraya berkata, “Pergunakanlah uang ini untuk menunjang tugas-tugasmu”.
Sa’id pulang ke rumahnya. Istri Sa’id sangat gembira atas hadiah dari Umar itu, seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kecukupan kepada kita atas tugas yang engkau emban ini”.
Sa’id bertanya kepada istrinya, “Apakah kau mau yang lebih baik lagi?”.
“Ya”, kata istrinya. Lalu Sa’id berkata, “Uang ini akan kuberikan kepada orang-orang yang lebih membutuhkannya daripada kita”.
Lalu Sa’id memanggil seorang anggota keluarganya yang dapat dipercaya, dan dia memasukkan uang ke dalam beberapa bungkusan, seraya berkata, “Bawalah bungkusan ini kepada keluarga janda si Fulan, orang miskin dari keluarga si Fulan, dan kepada orang-orang yang tertimpa musibah. Selebihnya disimpan”.
Istri Sa’id bertanya, “Kenapa sisa uang itu tidak kau gunakan untuk membayar seorang pembantu?”.
Sa’id menjawab, “Sewaktu-waktu tentu akan ada orang yang datang yang lebih membutuhkan uang itu”
Subhanallah, Maha Suci Engkau ya Allah…
Saya coba simpulkan beberapa hikmah dari kisah ini:
[1]. Sebagai pemimpin tertinggi, Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu selalu bersedia mendengar keluhan dari rakyat terbawah dan ia bersedia mengkonfirmasi kepada aparatnya terhadap keluhan-keluhan itu. Laporan dan konfirmasi langsung akan meniadakan fitnah dan kebohongan terhadap pelapor maupun yang dilaporkan.
[2]. Sa’id bin Amir adalah pribadi pemimpin yang sederhana, yang mengerjakan pekerjaan rumah tangganya sendiri (membuat roti, bahkan mencuci pakaiannya sendiri) tanpa bantuan orang lain apalagi dengan memanfaatkan atau menyalahi wewenang kekuasaan yang sedang diembannya.
[3]. Di sela-sela kesibukannya sebagi Amir, Sa’id bin Amir masih dapat meluangkan waktunya untuk berdzikir, bermunajat, dan mengingat Allah ta’ala pada malam-malam harinya.
[4]. Kecintaan Sa’id bin Amir kepada Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasalam membuat ia takut berdosa karena ia tidak membela Nabi, padahal pada saat itu ia masih belum memeluk Islam sebagai agamanya.
[5]. Dalam hal ini, Khalifah Umar bin Khaththab me-reward Sa’id bin Amir dengan uang seribu dinar atas kejujuran dan prestasi kepemimpinannya. Uang hibah tersebut tidaklah digunakan Sa’id untuk kepentingannya pribadi, tapi ia menyumbangkan uang tersebut untuk kepentingan rakyatnya yang lebih membutuhkan uang tersebut. Padahal uang tersebut adalah hadiah dari Khalifah untuk Sa’id sebagai pribadi.
[6]. Khalifah Umar bin Khaththab dan Sa’id bin Amir adalah contoh pemimpin yang tidak alergi terhadap kritik, keluhan, bahkan tudingan dari rakyatnya. Mereka bersedia berdialog, mendengarkan, dan memberi konfirmasi terhadap pertanyaaan-pertanyaan dari rakyatnya secara langsung. Bukannya berdasar laporan-laporan aparat lain sebagai perantara sehingga dimungkinkan terdapat laporan palsu.
Masih adakah tersisa, pribadi-pribadi pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khaththab dan Amir Sa’id bin Amir bin Huzaim itu di negeri yang kita cintai ini.......? Semoga saja…............